EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Anak dari Guru PNS

Anak guru PNS
qowim.net

Saya memanggilnya dengan sebutan Abah. Panggilan yang tak lazim dan populer pada saat itu. Di desa kelahiran saya, anak-anak yang memanggil abah sangat jarang. Hampir tak saya temui, teman-teman sebaya saya yang memanggil ayahnya dengan sebutan Abah. 

Pa'e adalah panggilan populer saat itu. 

Mungkin, prediksi saya adalah karena Abah alumni pesantren di Lasem, memaggil gurunya dengan sebutan Abah, atau mendengar anak-anak gurunya memanggil ayahnya dengan sebutan Abah. Sebab itu, mungkin Abah ingin mengikuti jejak gurunya. Mungkin saja. Sebab sampai hari ini saya belum pernah bertanya, kenapa dulu ingin dipanggil Abah. 

Nama Abah adalah Muntaha. Dari namanya saja adalah Bahasa Arab, artinya terakhir, mentog, pol-polan. Soal nama ini ada yang lucu, kakak Abah namanya adalah Khatim (semoga Allah melapangkan kuburnya) artinya terakhir dalam Bahasa Jawa pungkasan. Lalu entah bagaimana ceritanya tiba-tiba keluar lagi adiknya, tidak mungkin dinamai khatim 2. Lalu keluarlah nama Muntaha itu. Untungnya, Abah saya tidak punya adik lagi. Apa jadinya nama adik dari Abah saya itu?

Abah adalah sosok yang sederhana, sederhana sekali. Sebagai anak ragil dari 11 bersaudara, ia adalah seorang anak yang berani keluar dari rumah untuk mondok di pesantren Al-Hidayat Lasem yang diasuh oleh KH. Ahmad Syakir (w. 1991) Beliau adalah putra ketiga dari KH. Ma'shum (w. 1972). Selain Abah saya, ada kakaknya bernama Ishaq (semoga Allah melapangkan kuburnya), beliau meninggal di usia yang relatif muda.

Tentang Mbah Ahmad Syakir, dulu, ketika masih kecil saya sering bertanya kepada Abah tentang foto KH. Ahmad Syakir tersebut yang dipajang di ruang tengah. Abah menjawab itu adalah Mbah. 

Abah pernah bercerita, ketika di pesantren sesekali memijat Mbah Ahmad Syakir. Abah juga bercerita pernah bermimpi bertemu dengan KH. Ahmad Syakir lalu diajak menaiki bukit. Singkat kata, Abah menyimpulkan bahwa dirinya akan naik derajatnya. Saya percaya itu, buktinya adalah Abah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sekolah Dasar.

Jangan keliru, menjadi pegawai adalah kemewahan tersendiri di era itu. Menjadi standar kesuksesan seseorang. Soal gaji, meskipun sedikit, tapi kemewahan diri dan hati tentu lebih besar dari sekadar gaji. Lebih tepatnya kebanggaan. 

Abah adalah sosok yang teliti, kelebihan itu yang menjadikan ia sering menjadi sekretaris di beberapa organisasi yang diikutinya. Dulu, saya sering diberi tugas mengecap stempel di undangan-undangan rapat, mulai dari masjid, TPQ hingga Unit-unit di sekolahan. 

Satu hal yang paling saya ingat bahwa Abah adalah sosok yang teliti adalah; mencatat gaji dan pengeluaran bulanan. Di almari besar yang ada di kamar Abah jika saya buka, maka di balik pintu itu adalah pencatatan bulanan. Kalau tidak salah ingat, kira-kira ketika saya kelas 2 atau 3 MI, gaji Abah adalah 56.000 rupiah. Lalu disusul pengeluaran seperti cicilan, bayar hutang dan lain-lain. Sisa dari gaji itu, saya masih ingat betul 6.000 rupiah. 

Uang 6.000 rupiah itulah yang mungkin dijadikan sebagai uang wira-wiri setiap bulannya. Di usia itu, uang jajan saya perhari adalah 200 rupiah dikalikan sebulan pas 6.000 rupiah. Uang jajan saya dan uang wira-wiri abah besarannya sama. Sungguh keuangan yang tidak sehat. 

Meskipun begitu, saya bangga dengan pekerjaan Abah, jadi guru dan pegawai negeri pula. Hal yang tidak dimiliki oleh teman-teman saya yang sebagian besar orang tuanya adalah buruh pabrik, petani dan kuli bangunan. Namun, kebanggaan itu melahirkan konsekuensi yang berat bagi saya. 

Di mata teman-teman sebaya, anak guru harus pinter dan mendapatkan rangking. Hal ini yang menyiksa saya, selain itu mereka jadi sungkan mengajak saya bermain, mereka juga jarang sekali, atau malah tidak pernah sama sekali bermain di rumah. Kecuali, Abah ibu sedang pergi. 

Ketika sekolah di MI saya termasuk anak pintar, setidaknya dibuktikan dengan nilai rapor yang bagus, ranking bertahan di angka 1 dan 2. Tempat duduk saya selalu di depan, persis di depan meja guru kelas. Pelajaran apapun yang saya ikuti, dengan mudah saya pahami. Namun, prestasi ini ternyata membuat saya gelisah. Saya menjadi sosok yang tertekan dan penuh kekhawatiran.

Di rumah, saya selalu disuruh untuk belajar dan belajar. Main sebentar saja sudah dicari oleh orang tua. Sungguh sangat menyiksa batin kanak-kanak saya. Saya tak punya banyak teman, tidak bisa merasakan kenikmatan kenakalan-kenalakan yang diceritakan oleh teman-teman saya pada saat itu. Saya menjadi pribadi yang buruk dalam komunikasi sosial. 

Lagi-lagi, hal ini karena menjadi anak seorang guru. Entah, itulah yang saya pikirkan pada waktu itu. Menjadi anak guru sungguh membosankan, tidak bisa nakal dan bebas bermain. Ditambah lagi, orang tua saya terkenal sebagai orang tua yang galak. Saat itu, memang tidak ada orang tua yang tidak galak kepada anaknya. Tidak galak kepada anak, mengakibatkan anak menjadi berani dengan orang tua. Itulah kesimpulan saya yang, hari ini baru saya sadari. 

Literatur tentang parenting sangat minim, apalagi di desa saya yang lumayan jauh dari perkotaan. 


Hingga pada suatu hari, saya mempunyai kesimpulan yang akhir-akhir ini saya sesali; bertekad menjadi anak nakal dan bandel. Mohon maaf kepada orang tua atas keputusan yang sangat sembrono ini, karena bosan dicap sebagai anak pintar yang tidak boleh nakal. 

Kisah itu berawal ketika pengumuman naik kelas 6. Peristiwa naik kelas ini, sangat mendebarkan bagi anak-anak seumuran itu, antara naik kelas atau tidak adalah pengumuman yang sakral. 

Namun, ada yang lebih sakral lagi, yaitu pertama masuk di kelas berikutnya, yaitu kelas 6. Untuk mendapatkan bangku, anak-anak dan orang tua antre sedari subuh di depan pintu kelas sambil meletakkan tas ranselnya di sana. Menunggu di bangku mana ia akan duduk di hari-hari berikutnya. Jika subuh pada waktu itu pukul 5 pagi, maka pukul 5.30 pagi itulah anak-anak dan orang tuanya sudah mengantre di sana.  Kecuali saya, sebab saya bertekad untuk duduk di kursi paling belakang. Kursi anak nakal dan pemalas. Itulah kesan guru-guru dan orang tua pada saat itu.

Pukul 7.00 pagi, pintu dibuka oleh Pak Bon (istilah kami saat itu untuk menyebut tukang kebun sekolah). Anak-anak dan orang tua berjubal memasuki kelas dan meletakkan tasnya di atas meja, sebagai tanda bahwa bangku itu sudah ditempati. Peristiwa itu tak jarang dilalui dengan berdebat dan adu bicara. 

Saya melangkah dengan santai memasuki kelas dan mendapatkan bangku paling terakhir, pojok paling kiri. Saya gembira betul. Inilah yang saya tunggu-tunggu, batinku.

Sejak saat itu juga, saya jadi anak yang sok ramai, lebih tepatnya ikut-ikutan ramai. Bangga sekali diomeli guru rasanya. Ternyata begini rasanya dimarahi guru. Sungguh, saya ulangi lagi, ini adalah tindakan yang sembrono. Saya sering malu jika mengingat hal ini. 

Puncak dari itu adalah peringkat ranking saya yang turun drastis, sejak duduk di bangku deretan paling belakang, ranking saya dikelas adalah 11. Sungguh rangking yang memalukan bagi kedua orang tua saya. Apalagi, mereka semua adalah guru.


Meskipun penuh dengan tekanan sebagai anak guru, saya tetap mensyukurinya, ada sisi-sisi yang baik sekali yang akan saya tuliskan di bagian lain. Walaubagaimanapun, Abah saya adalah orang yang luar biasa, ia bisa menyekolahkan saya sampai jenjang seperti ini. 

Posting Komentar

Posting Komentar