EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Tentang Radio

Ketika saya masih kecil, di rumah tidak ada radio, entah karena orang tua saya dulu tidak cukup uang untuk membeli radio, atau memang tidak begitu menyukai radio. Sepertinya pilihan kedua yang mendekati kebenaran faktanya. Pasalnya, ketika saya masih kecil, di rumah sudah ada televisi, meskipun... kondisinya menyedihkan sekali. 

Televisi sebesar 14 inc. itu memang ada dan sudah berwarna, namun nyaris tidak ada gambar yang ditemukan di sana, melainkan hanya semut-semut yang memenuhi layar itu. Jadilah televisi itu seperti radio, hanya suara tanpa visualisasi. 

menjadi penyiar radio
qowim.com

Sampai hari ini saya tidak tahu, itu televisi hasil beli bekas atau dikasih lungsuran. Kalau menerka-nerka, sepertinya hasil lungsuran Budhe saya yang tinggal bersebelahan dengan rumah kecil kami. 

Kembali soal radio. Saya mengenal radio ketika masih duduk di Taman Kanak-kanak. TK Pertiwi namanya. Sekolah itu tidak jauh dari rumah saya, kira-kira 400 meter. Sejak kecil saya sudah terbiasa berangkat sendiri ke sekolah itu. Di usia yang masih 4 tahun, ingatan saya tidak banyak tentang sekolah itu. Saya hanya mengingat Ibu Endang, Ibu Al dan satu teman perempuan saya namanya Lia. 

Suatu hari TK kami mendapatkan jadwal untuk bisa berkunjung di stasiun radio, Manggal FM namanya, saya agak ragu, yang jelas studionya di dekat Menara Kudus. Saat itu hanya ada lima orang yang diperbolehkan masuk ke studio, saya salah satunya. Saya lupa ngapain saja di sana dan ditanya apa, yang saya ingat adalah kami diminta untuk bernyanyi. 

Bisa bernyanyi pada saat itu merupakan kemewahan, sebab tidak semua orang di usia itu bisa dan berani bernyanyi. Meskipun, saya lupa disuruh nyanyi apa. Saya kira tidak jauh-jauh dari balonku ada lima, pelangi, dan bintang kecil. 

Pulan dari studio Manggala FM, saya dipuji oleh Abah dan Ibu. Tentu senang, mereka bilang tadi mendengarkan suara saya di radio bernyanyi bersama. Tentu saya percaya. 

Mulai saat itu saya ingin memiliki radio. Namun, tentu saja tidak bisa. Sebab Abah yang berstatus menjadi Guru SD dan Ibu adalah seorang Guru honorer di MTs. Gaji PNS pada saat itu sama sekali tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Soal ini, mungkin akan saya ceritakan di bagian yang lain. 

Seingat saya, pertama kali mempunya gadget adalah ketika duduk di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tarbiyatus Sibyan, sekolah dekat sekali dengan rumah saya, cuma 50-an meter saja. Abah dan ibu saya tahu bahwa saya sangat suka mendengarkan radio, entah inisiatif membelikan saya itu karena apa. Jelasnya, ketika Abah pulang dari Jakarta dalam rangka rekreasi sekolahnya, beliau membawakan saya Walkman. 

Barang yang pada saat itu menjadi sangat mewah dan berharga. Merknya, kalau tidak salah adalah Sony, merk yang sangat terkenal. Meskipun saya ragu, itu Sony bajakan atau original. Pasalnya, suaranya sangat berbeda dengan suara yang dimiliki oleh teman saya. Apapun itu, saya sangat senang sekali. 

Setiap hari, setiap mau beranjak tidur saya mendengarkan radio dari Walkman itu. Masalah yang sangat besar adalah pada baterai. Ya, baterainya sangat boros sekali. Dua baterai yang dibeli baru, kira-kira hanya cukup untuk 2 hari saja. Kerumitan itu tak membuat saya habis ide, saya mulai mencari baterai yang bisa diisi ulang, dan adaptor. 

Jika mengingat itu, sungguh kerumitan yang membuat penasaran bagi anak seusia 10 tahun. 

Kecintaan saya dengan radio tak surut, apalagi setelah mengenal dari sepupu saya. Dia adalah sosok yang saya kagumi pada waktu itu. Umur saya masih sekitar 10 atau 11 tahun. Di kamarnya penuh dengan coretan dinding; seingat saya ada nama Iwan Fals, Che Guevara dan Gun and Roses. Saya lupa kutipan apa yang tertulis di sana. Masuk di kamarnya dan mendengarkan radio sangat saya sukai, meski lagu-lagunya tidak saya mengerti. 

Suatu saat, ketika saya sudah duduk di MTs, saya berkunjung di kamar sepupu saya itu, di sana ada radio kecil yang tidak terpakai, bentuknya persegi panjang. Hanya radio saja, bukan tape apalagi recorder. Saya kira itu milik sepupu saya yang sudah terpakai. Pada waktu itu, saya sudah melihat tape recorder milik sepupu saya yang suaranya bagus sekali, bass dan tribelnya sangat enak didengarkna (setidaknya dua istilah bass dan tribel itu yang saya ingat hingga hari ini)

Melihat saya meraba-raba radio kecil itu, sepupu saya bilang "Wis gowo mulih wae." - bawa pulang saja. Katanya. Tentu, tanpa basa-basi saya mengiyakan dan akhirnya saya punya radio sendiri. Walkman sudah lama tak terpakai, karena malas membeli baterai yang boros sekali. 

Di usia belasan itu, saya sudah mandiri, punya kamar pribadi, mencuci baju dan menyetrika sendiri. Setiap pagi bangun tidur saya menyetel radio sambil menyiapkan perlengkapan sekolah dan sesekali belajar, malam ketika jam belajar saya menyetel radio. Alhasil, tak ada hari tanpa radio. 

Saya mulai hafal acara-acara di radio, nama salurannya, penyiarnya hingga menikmati tangga lagu yang selalu diperbarui tiap pekannya. Beberapa saluran favorit saya saat itu adalah RCT, Imelda, Gadjah Mada dan Prambors. 

Dari sanalah, saya sering membayangkan menjadi seorang penyiar radio. Hingga saat ini saya masih mengagumi kalau ada orang yang berprofesi sebagai penyiar radio. Televisi adalah nomor sekian bagi saya waktu itu. Mungkin karena tidak punya juga, atau ... soal televisi ini agak panjang ceritanya, semoga bisa menuliskannya kapan-kapan. 


Sampai saat ini, saya masih ada sisa-sisa keinginan untuk menjadi penyiar radio, meskipun kemampuan public speaking saya kurang bagus. Namun, sedikit demi sedikit saya selalu mempelajari bagaimana caranya agar memiliki kemampuan public speaking yang memadai lagi andal, minimal ketika di kelas-kelas. Impian menjadi penyiar radio cukup menjadi kenangan saja, sebab saya tahu diri, hidup tak melulu soal cara mewujudkan keinginan, melainkan menjalani tugas-tugas ada dengan baik dan profesional.

Zaman makin ke sini makin maju, cepat sekali. Kini semua orang bisa menjadi penyiar radio, bisa dengan membuat kanal di Youtube, spotify dan platform lainnya banyak sekali. Namun, saya harus sadar diri, suara saya tidak seindah dan sebasah para penyiar radio itu.

Sering kali, mimpi dan cita-cita tidak sesuai dengan ekspektasi kita, namun di balik itu semua. Allah merencanakan hal yang baik dan tanpa kita duga-duga. Menjadi penyiar radio memang baik dan menyenangkan, namun itu untuk orang lain, bukan untuk saya. 

Posting Komentar

Posting Komentar