EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Adab Lebih Utama daripada Ilmu

Dua tahun yang lalu saya mulai membaca kitab Ta’lim Muta’allim dengan para santri pelajar di komplek Nurul Huda Pondok Pesantren An-Nur. Sebuah kitab fenomenal karya Syaikh Zarnuji. Kitab itu menjadi salah satu kitab wajib yang dikaji di pesantren-pesantren nusantara. Hampir tidak ada pesantren yang tidak mengkaji kitab itu. Beberapa kali saya kesusahan membacanya sebab syair-syair dan kata-kata yang tidak familiar bagi saya. Di samping itu, memang keterbatasan saya dalam membaca teks-teks bahasa arab.

Syarah Ta'lim

Kesusahan itu membuat saya mencari cara untuk memudahkan dalam memahaminya. Saya ingat kalimat Gus Baha ketika ngaji di Bedukan, “Wong nek ra patek ngalim, ngajine nganggo syarah.” – orang kalau tidak begitu cerdas, ngajinya menggunakan syarah. Jadi, untuk mengafirmasi kalimat Gus Baha itu, saya membeli syarah kitab Ta’lim tersebut.

Kitab syarah yang saya beli adalah karya Syaikh Ibrahim bin Ismail dengan judul Syarah ta’lim al-muta’allim thariq at-ta’allum yang diterbitkan oleh Gerbang Andalus, Sampang. Dengan bantuan kitab itu, saya bisa memahami teks dengan lebih baik. Ya, minimal tidak terlalu sering melewati makna yang tidak saya ketahui. Biasanya, jika saya tidak memahami teks, saya sering mengatakan “Saya tidak tahu makna dari kalimat ini.” 

Tulisan ini tidak akan membahas tentang isi kitab tersebut, sebab sudah terlalu banyak orang yang membahasnya, mulai dari esai, artikel ilmiah, skripsi, tesis hingga disertasi. Anda bisa mengetik di mesin pencari Google dengan kata kunci Syaikh Zarnuji atau Kitab Ta’lim, saya kira akan menemukan banyak sekali tulisan-tulisan yang membahasnya. 

Di sini saya ingin menceritakan tentang teks yang saya temui di syarah tersebut. Biasanya, teks-teks Bahasa Arab itu memiliki perbedaan, baik itu harakat maupun rasmnya. Oleh sebab itu biasanya ada perbandingan naskah dengan mengumpulkan cetakan dari beberapa penerbit. Saya sendiri menggunakan tiga perbandingan dari penerbit berbeda. Ada syair yang berbunyi seperti ini 

من شاء ان يحتويَ اماله جملا     #        فليتخذ ليله في دركها جملا 

“Barang siapa yang ingin semua angan-angannya tercapai, maka sebaiknya ia menjadikan malamnya sebagai kendaraan.” Maknanya, malam seharusnya dijadikan sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita. Waktu malam dijadikan sebagai waktu untuk belajar.

Di beberapa teks, kata امالَه beri’rab nashab (diharakati fathah) sebab menjadi maful dari kata sebelumnya (يحتوي) namun di dalam syarah beri’rab rafa’ (berharakat dhommah) menurut Syaikh Ibrahim bin Ismail status kata tersebut adalah fa’il (subjek) dari kata sebelumnya, jadilah berharakat dhommah. Saya bertanya kepada para santri yang terbitannya berbeda juga dibaca nashab/fathah.

Awalnya saya mengikuti syarah tersebut, namun setelah saya baca ulang terdapat ta’liq (catatan kaki) dari cetakan tersebut yang menjelaskan bahwa dimungkinkan Syaikh Ibrahim “lupa” yang benar adalah dibaca nashab (manshub). 

Kata yang saya garibawahi di dalam kitab saya adalah kata lupa (sahwun) lalu saya membatin “Tawadu sekali orang yang memberikan catatan ini.” Saya nukilkan terks aslinya seperti ini. 

هكذا قال الشارح، ولعله سهو منه والصواب انه منصوب...

Catatan itu memakai redaksi “barang kali, mungkin” – kemungkinan Syaikh Ibrahim lupa, bahwa yang benar adalah dibaca nashab. Kemungkinan kata lupa itu mengingatkan saya ketika nekat mengirimkan pesan kepada seorang penulis yang saya hormati, beliau menulis beberapa kutipan ayat secara keliru. Lalu saya mengirimkan pesan yang intinya Njenengan keliru. Seharusnya saya mengatakan mungkin njenengan lupa, bahwa yang benar adalah seperti ini seperti ini… Saya menyesal menggunakan kata seperti itu. 

Di lain hari saya akan meminta maaf kepada beliau karena sudah tidak sopan sekali. 

Adab memang di atas ilmu, sebagaimana kaidah yang mengatakan suluk al-adab muqaddamun min imtisali al-amr – Menjalankan tata krama lebih didahulukan daripada melaksanakan perintah. Oleh sebab itu Sayyidina Abu Bakr ketika diminta untuk menjadi imam salat oleh Kanjeng Rasul, beliau tidak mau. 

Seorang murid, suatu saat bisa lebih pintar dan alim dari guru-gurunya, namun tidak bisa mengungguli keutamaan dan kemuliaan guru-gurunya tersebut. Sebab orang yang lebih dulu melakukan kebaikan statusnya lebih mulia daripada orang yang melanjutkan kebaikan atau mengoreksi kebaikan tersebut. 

Sebagaimana kisah Ibn Malik ketika ada sedikit kesombongan dalam dirinya bahwa Alfiyah miliknya lebih utama daripada Alfiyah milik Ibnu Mu’thi, lalu seketika ia tak bisa melanjutkan nazamnya. Beliau bisa melanjutkan ketika menyadari bahwa seharusnya bersikap tawadu dalam menulis karya dan ia melanjutkan nazam di bawah ini. 

وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيلاَ

مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيل

Nazam alfiyah ibnu Mu’thi itu lebih utama sebab menjadi yang pertama, maka ia berhak mendapatkan pujian.
Posting Komentar

Posting Komentar