EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Disunat

Tiga hari yang lalu Yahya disunat. Hal yang pernah kubayangkan terjadi di hari itu. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, saya menuruti keinginan Yahya itu. Ya, ia memang meminta sendiri untuk disunat. Saya tidak memaksanya sunat di usianya yang baru 4 tahun berjalan ini. 

Juru Supit Bogem Yogyakarta

Begini ceritanya. 

Hari Jumat sore (9/2/2023), Ibu Nyai saya berkunjung ke rumah, beliau memberi kabar kalau Amir (teman sepermainannya Yahya; masih saudara mindowan) besok pagi hendak disunat. Beliau meminta kepada saya untuk menawarkan kepada Yahya, barangkali ia mau dibarengkan dengan Amir.

Sore itu saya menawarkan kepada Yahya, dan tanpa saya duga, ia mau dengan sendirinya. Malah, malamnya ia bersikeras untuk meminta disunat. Saya dan istri pun memberikan pemahaman kepada Yahya kalau sunatnya besok pagi saja, tidak malam nanti. Mungkin karena iming-iming mainan, ia bersikukuh malam hari harus pergi untuk disunat. 

Setelah salat Maghrib kami naik motor untuk pergi ke klinik terdekat yang terdapat pelayanan sunat. Setelah menuju meja pendaftaran, hasilnya tidak bisa ditindaklanjuti sekarang juga, melainkan harus konsultasi terlebih dulu. Kami diberikan nomor pelayanan yang bertujuan untuk melakukan perjanjian dengan dokternya terlebih dulu. 

Malam itu Yahya tidak jadi disunat. 

Dalam perjalanan pulang, Yahya ingin dibelikan mainan. Akhirnya kami belok ke toko mainan untuk menuruti permintaannya. Padahal, bulan ini ia sebenarnya sudah mengambil jatah beli mainannya. 

Setelah mendapatkan mainan baru, ia mengatakan kalau besok jadi disunat dan bareng sama Amir. Usia mereka terpaut 1 tahun, lebih tua Amir. Malam itu saya sowan ke Gus Rum (Abahnya Amir) untuk konfirmasi bahwa besok Yahya ikut disunat. Beliau menyambut baik, besok kami janjian berangkat pukul tujuh pagi ke Juru Supit Bogem, Kalasan, Sleman. 

Kemasyhuran Supit Bogem tak perlu diragukan lagi, tempat supit itu sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Kabarnya, para putra raja Kraton Yogyakarta banyak yang disupit di sana. 

Esok hari kami berangkat (11/2/2023), di sana masih sepi, hanya antre 1 orang saja. Karena ini bukan waktu liburan sekolah, Supit Bogem ini sepi. Biasanya jika waktu liburan sekolah, satu hari bisa menyunat hingga 150-an pasien. 

Kira-kira menunggu 30 menit, giliran rombongan kami. Amir mendapat jatah pertama, Yahya yang kedua. Ketika Amir masuk, saya dan Yahya agak menjauh dari ruangan supit, tujuannya biar tidak mendengar jeritan Amir ketika disunat. Itu pun atas anjuran Gus Rum. 

Sepuluh menit kemudian Amir selesai, dan giliran Yahya. Saya mendampinginya, sesuai dengan permintaan Yahya "Nanti Bapak nemenin Yahya, ya!" katanya. Terdapat 4 orang yang menanganinya, ditambah saya jadinya 5 orang. Saya diberi pengarahan oleh salah satu petugasnya, untuk memegang kedua tangan Yahya yang terbaring. Wajah saya menghadap Yahya, kedua tangan saya memegang telapak tangannya yang masih mungil. Saya mulai dagdigdug. 

Para petugas membimbing Yahya untuk membaca dua kalimat syahadat, surah al-fatihah dan surah-surah pendek lainnya. Saya diminta untuk fokus ke Yahya dan membacakan surah-surah tersebut. Entah bagaimana prosesnya, saya tidak tahu, sebab tertutup oleh sarung yang memang sengaja diletakkan di belakang saya. 

Ketika Yahya kesakitan dan menjerit-jerit, saya mencoba untuk tenang. Menit demi menit berlalu, tangisan Yahya makin kenceng. "Sakiiit, sakitttt." Itu kata yang paling sering diucapkan. Saya mulai panik ketika Yahya mengatakan "Jangan ditarik, jangan ditarikkk..." saya membatin, "Jangan-jangan tidak dibius?" 

Sesekali Yahya mengatakan "Geli... sudahh.. Geli" 

Ia merasakan semuanya dengan detail. Jujur saya panik. Saking paniknya, saya menawarkan kepada Yahya untuk menonton Youtube. Ia mau. Untungnya, salah satu dari petugasnya mengatakan lebih baik dibacakan surah-surah pendek. Saya menurutinya, lagi pula hp tidak saya bawa masuk ke ruang tindakan. 

Seingat saya, ketika disunat itu yang sakit ketika disuntik biusnya. Setelah itu tidak merasakan apa-apa sampai selesai, lalu pulang. Saya masih penasaran, jangan-jangan tidak dibius ya? 

Proses sunat itu hanya berlangsung 10 menitan, saya tidak tahu persis berapa menit. Kira-kira segitu. Setelah selesai dijahit dan diperban, Yahya saya gendong menuju tempat tidur di ruang sebelahnya. Kami melihat Amir sudah disana dengan mata yang masih basah. Ia ditemani abahnya. 

Yahya sempat bilang ingin pipis, lalu saya menggendongnya ke kamar mandi. Ia takut melihat luka di penisnya, lalu ia mengurungkan pipisnya. Saya gendong lagi dia ke tempat tidur. 

Di sana saya diberi obat, dua botol sirup untuk anak. Semacam paracetamol untuk pereda nyeri, dan satunya lagi saya tidak teliti membacanya. Selain itu ada Betadine salep dan banyak sekali perban. 

Kata petugasnya, perban dilepas setelah 32 jam, caranya dengan berendam air hangat ditunggu hingga lunak sendiri lalu dengan mudah bisa dilepas. Jika sudah lepas, bisa diberikan salepnya lalu diperban lagi, namun jika tidak bisa atau takut memasang perban, tidak perlu diperban lagi tak jadi soal. 

Saya kurang fokus mendengar penjelasan itu, perhatian saya lebih menuju pada wajah Yahya, ia yang masih kecil, nangis tersedu, bercucuran keringat, meringis-ringis. Haduh... Hati saya betul-betul, rasanya mak krenyes-krenyes. Kasihan sekali. 

Saya keluar dari ruangan itu dengan menggendong Yahya. Kami menuju perjalanan pulang. Di dalam mobil, masih terasa sisa-sisa haru dan ngeri, masih terbayang tangisan Yahya. Badannya hangat, napasnya masih belum teratur. Ia saya pangku di tempat duduk bagian depan. 

"Bapak, nanti beli mainan, ya," katanya dengan lirih. Saya memastikan bahwa nanti pulangnya beli mainan. Lalu ia tertidur di pangkuan saya. 

Sampai di toko mainan saya membangunkannya. Ia lalu memilih mainan yang disukainya. Alhamdulillah... Sampai di rumah, saya menidurkannya, ia mulai merasakan sakit pascasunat. Ibunya duduk di sebelahnya, sambil merapal doa. Semoga ia menjadi anak salih.

Posting Komentar

Posting Komentar