EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Kedekatan Emosional dengan Anak

Belakangan ini saya mulai sadar, bahwa kedekatan emosional dengan anak adalah nomor satu, adalah kunci. Ketika Yahya menginjak usia lima tahun, kok rasanya waktu begitu cepat? Cepat atau tidak cepat memang relatif, namun saya melewatkan hal penting dalam hidup saya; membangun komunikasi yang dekat dengan anak.

Image by Lorraine Cormier from Pixabay

Saya terlalu banyak menuntut Yahya, namun lupa mengajari bagaimana caranya. Membandingkan dia dengan temannya yang lain, namun tidak disertai memberikan apresiasi capaiannya. Jadi, pola komunikasi yang dijalani selama ini bukan relasi saling percaya dan saling perhatian, melainkan saling menuntut dan penuh penialaian. Dampaknya, ia menjadi pribadi yang mudah marah dan sulit mengungkapkan perasaannya secara verbal.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik, saya berikan contoh kasusnya. Saya menuntut dia untuk belajar membaca al-Quran, secara verbal saya memintanya untuk mengaji Yanbua jilid 1. Setiap diminta untuk mengaji, pasti ada drama, jika saya sudah mulai jengkel, saya tegaskan “Yahya mau ngaji atau tidak?” kalau jawabannya tidak, saya tinggalkan dia. Tanpa saya bertanya, kenapa ia tidak mau ngaji. Jadi, saya abai dengan perasaannya dan mementingkan ego saya sendiri. Penulis buku Seni Memahami Perasaan Anak yakni Park Jeo Yeon mengatakan:

Menghargai anak dan menjaga perasaan untuk selalu bersyukur membuat kita menjadi orang dewasa yang sehat
Park Jeo Yeon

Setelah pola itu saya amati, ternyata saya kurang menghargai (perasaan) anak. Jika itu ditarik lebih mundur kenapa itu terjadi? Naluri saya mengatakan karena kurang dekat secara emosional dengan anak, lebih jauh lagi jika ditarik kembali, hal itu disebabkan komunikasi yang tidak terjalin dengan baik. Semua itu, jika saya turuti terus menerus, akan menjadikan saya, sebagaimana kutipan Jeo Yeon yakni menjadi orang dewasa yang tidak sehat, jika kita tidak bisa menghargai anak dan menjaga perasaan untuk selalu bersyukur.

Bagaimana cara saya menyiasati dan melatih diri sendiri? 

Langkah-langkah praktis yang saya lakukan adalah dengan menanyakan alasan dari semua hal yang diinginkannya, menemaninya bermain dan membacakan cerita. Menanyakan alasan sebagai upaya menghargai perasaannya, menghargai apa yang diinginkannya. Menemai bermain dan membacakan cerita semata-mata untuk membangun kedekatan emosional saya dengan Yahya.

Praktik-praktik sederhana seperti itu ternyata "hanya" membutuhkan dua hal; kesabaran dan rasa terima kasih (bersyukur). Dalam contoh kasus soal mengaji di atas, setelah saya melakukan praktik-praktik sederhana itu, sekarang tidak perlu lagi saya memintanya atau menyuruhnya. Dengan penuh kesadaran, dia sendiri yang sering meminta untuk mengaji. Mungkin karena tahu bahwa hal itu bisa membuat orang tuanya senang. Atau bisa jadi karena ia mendapatkan visualisasi orang tuanya di rumah.

Anak kecil memang tidak mendengarkan, tapi mereka melihat.

Posting Komentar

Posting Komentar