EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM
Gambar tema oleh Igniel

Laporkan Penyalahgunaan

EWRX7nXzSEi74YquoxxXqz848nPnhEfExVXrFUfM

Pengikut

Cari Blog Ini

Recent

Bookmark

Anak Kedua

Tahun 2024 ini begitu campur aduk rasanya. Kewajiban dan tanggung jawab lebih banyak, usia yang makin bertambah dan, lahirnya anak kedua. Saya tak ingin menuliskan hal-hal yang berat, sebab biasanya akan menambah berat dari beban itu sendiri. Daripada mengabarkan sesuatu yang isinya menuai belas kasih, bukankah lebih baik menebar kebaikan dan berita gembira? 

Pada hari (aku harus membuka kalendar untuk memastikannya. Ingatanku tentang hari dan tanggal benar-benar lemah sekali) Rabu, 21 Februari 2024 anak kami yang kedua lahir. Banyak kisah yang bisa dituliskan, saking banyaknya saya harus diam sebentar dan memilih mana yang sekiranya bisa memberikan efek melegakan.

Memiliki anak kedua adalah hal yang sudah kami rencanakan sejak lama. Sebab ada beberapa ketentuan dari kesepakatan kami berdua; 1) tak mau memiliki balita di waktu yang sama; 2) sudah memiliki rumah sendiri dan yang terakhir; 3) direncanakan. 

Alhamdulillah, semua ketentuan itu purna untuk dilakukan dan dicapai. 

Ketika anak kedua ini lahir, Yahya (anak pertama kami) telah berusia 5 tahun, pada tahun 2023 kami sudah pindah di rumah sendiri, dan terakhir memang kehamilan sudah direncanakan dan disepakati. Saya termasuk laki-laki yang memiliki pandangan bahwa hamil dan melahirkan adalah haknya perempuan, bukan kewajiban.

Pada kehamilan bulan ke-4 kami USG di klinik yang juga sudah dipilih untuk rencana melahirkan, kata Bu Bidan, namanya Bu Sulis bahwa insyaallah perempuan, sebab tak ada tanda-tanda laki-laki (mungkin tonjolan penisnya). Tentu kami senang, sebab anak pertama sudah laki-laki dan anak kedua harapannya perempuan. 

Di usia-usia kehamilan yang makin tua, kami melakukan USG lagi, di samping untuk mengecek kesehatan bayi, juga untuk memastikan kembali apakah ia bayi perempuan atau laki-laki. Sayangnya, USG selanjutnya tidak kelihatan. O ya, kami melakukan USG yang dua dimensi, bukan yang sekarang sudah canggih 3 atau 4 dimensi. Selain pertimbangan biaya, dari dulu kami memang intinya ingin memeriksa kesehatan bayi, bukan untuk mendeteksi jenis kelaminnya saja. 

Kalau dua dimensi sudah cukup memeriksa kesehatan bayi, buat apa yang lebih? Ini pandangan pribadi kami, orang lain boleh berbeda, ya. 

Di antara kami bertiga (saya, istri dan Yahya) yang paling yakin perempuan adalah istri, Yahya justru mengira laki-laki. Kalau saya cenderung netral, laki-laki boleh, perempuan juga sama saja. Sebab bagi saya pribadi punya anak itu bukan soal jenis kelaminnya, namun soal bagaimana menenaminya bertumbuh dan dewasa; mendidik dan merawatnya. 

Sama seperti anak pertama, saya tidak menyiapkan nama untuk jabang bayi. Istri yang sudah menyiapkan nama tersebut, perempuan tentunya. Kami sering tidak sepakat soal pemberian nama-nama. Nama perempuan itu adalah Fatima Hilmiya. Cantik, bukan? 

Hari Perkiraan Lahir (HPL) anak kedua ini maju 3 hari. Hari Selasa malam istri sudah mulai merasa kontraksi, agak sedikit saya abaikan (maaf, ya) karena memang belum ada tanda-tanda yang pasti, khawatirnya kontraksi palsu. Esok harinya, ia memastikan sudah keluar lendir dan intensitas kontraksinya lebih sering. Pukul 06.30 saya antarkan ke klinik tujuan, tak jauh dari rumah kami sekitar 2-3 KM. 

Nama kliniknya Klinik Rumah Sehat Alisa. Saya akui bahwa pelayanannya sangat prima dan memuaskan. Istri saya ditunggu 3 bidan sekaligus di akhir-akhir menjelang kelahiran. Ada Mbak Isna, Bu Sulis dan satu lagi saya tak sempat berkenalan.

Anak kami lahir pukul 17.30 WIB dengan normal dan lancar. Meskipun melalui proses yang sulit, sebab bayi itu lahir dengan kondisi terlilit tali pusar. Mungkin itu yang menyebabkan ia kesulitan untuk keluar. Namun, sekali lagi berkat dukungan dari tim Klinik Alisa itu, istri saya punya semangat untuk melalui proses tersebut. 

Alhamdulillah, saya juga menemani proses persalinan itu. 

Ia lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Wajahnya mirip sekali dengan Yahya ketika lahir. Tak hanya saya yang merasa, orang tua dan mertua dan beberapa kawan yang menengok juga sama komentarnya; mirip sama kakaknya.


Nama Fatima Hilmiya tentu tak bisa digunakan. Tiga hari setelah keliharan saya sowan ke Gus Rum untuk meminta nama laki-laki. Beliau seketika mengatakan Muhammad Yusuf. "Terserah samean tambahi opo gak," imbuhnya. Saya lalu pulang dan berembug dengan istri, ia ingin menambahkan Hilmi. Saya setuju. Jadilah nama lengkapnya Muhammad Yusuf Hilmi. Tanpa ya.

Kami berharap, semoga ia tumbuh menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, mampu menjaga diri, bertindak berlandaskan nilai-nilai Islam, selaras dalam ucap dan perilaku, jujur dan adil sejak dalam pikiran, dan menebar manfaat kepada sesama makhluk.

Dari sekian hal yang saya ceritakan, ternyata sudah banyak hal yang sesuai rencana, ada satu atau dua hal yang kurang atau bahkan tak sesuai, tentunya adalah bagian dari kehendak-Nya. Jika sudah terjadi, yang bisa kita lakukan adalah berprasangka baik kepada Allah, bahwa semua akan baik-baik saja.

Posting Komentar

Posting Komentar